Tags

, ,

Sweetie little Zlatan. Foto di-screenshot dari buku Iam Zlatan, halaman 6.

Sweetie little Zlatan. Foto di-screenshot dari buku Iam Zlatan, halaman 6.

Ketika aku dan ayah tinggal di Stenkula School, aku sering berada di rumah ibu hingga larut malam. Dan lalu, saat pulang ke rumah, aku harus melewati terowongan gelap yang menyeberangi Jalan Amiral dan Jembatan Annelunds. Pernah sekali (di daerah ini), beberapa tahun sebelumnya, ayahku dirampok dan dihajar hingga luka parah dah harus dilarikan ke rumah sakit dengan paru-paru bocor. Aku tentu tak ingin mengalami hal serupa, tapi saat melintasi jalan ini, aku sering terpikir akan hal itu. Semakin aku berusaha untuk tak memikirkannya, semakin pula pikiranku terganggu. Di sekitar itu, terdapat jalur rel kereta api dan sebuah jalan. Di situ juga ada sebuah gang kecil yang menjijikkan, semak-semak dan dua tiang lampu, satu sebelum terowongan dan satunya lagi di di ujung setelah terowongan. Sepanjang jalan gelap dan mengerikan. Karena itulah, buatku, lampu tadi seperti lentera yang menerangkan. Antara keduanya aku akan berlari seperti orang gila, dengan jantung berpacu kencang. Dan sepanjang itu aku berpikir: bahwa ada seorang pria mengerikan yang sedang menunggu di sana, seseorang seperti yang menyerang ayahku, dan aku pikir sepanjang aku bisa berlari kencang aku akan baik-baik saja. Dan saat sampai ke rumah, aku seperti seseorang yang kehabisan nafas. Jelas, ini bukan sesuatu yang akan dilakukan Muhammad Ali.

Pada kali lain ayah mengajak aku dan Sanela berenang di Arlov, dan setelah itu aku berada di tempat seorang teman. Saat aku pulang, hujan mulai turun. Hujan turun dengan derasnya dan aku memacu sepeda sekencang-kencangnya dan tiba di rumah dengan basah kuyup. Kami sudah tinggal di Jalan Zenith pada saat itu, lumayan jauh dari Rosengard, dan itu cukup membuat lelah. Sekujur badanku gemetaran berat, perutku sakit. Aku benar-benar menderita. Aku hampir tidak bisa begerak di tempak tidur dan hanya bisa mendongak ke atas. Aku mencoba memaksakan diri. Tapi badanku kaku. Aku panik.

Ayah lalu datang, dan tentu saja, ayah tetaplah seperti dirinya, kotak obat-obatannya (P3K) kosong dan lagi pula ia baru minum (minuman keras) terlalu banyak. Tapi dalam keadaan kacau seperti ini, tidak ada yang seperti dia. Dia memanggil taksi, lalu memanggul tubuhku seolah-olah aku adalah sesuatu yang sangat ringan, dan membawa aku turun ke mobil. Di tubuhnya, aku seperti hanya bulu burung yang tak berarti. Ayah besar, kuat, dan benar-benar bisa melakukan sesuatu yang tak terduga. Di mobil, ia seperti seekor singa yang menakutkan, ia berteriak kepada supir taksi yang seorang wanita itu: “Dia anak laki-laki-ku! Dia segala-galanya untukku. Abaikan semua peraturan lalulintas. Aku yang akan bayar dendanya. Aku yang akan berurusan dengan polisi nantinya.” Dan wanita itu, dia melakukan apa yang ayah minta. Ia melanggar dua lampu merah, dan tiba di bagian anak-anak rumah sakit Malmo. Kemudian keadaan menjadi darurat. Rasanya seperti tertembak di punggung, dan ayah mendengar beberapa kabar sampah bahwa orang akan menjadi lumpuh saat mendapat penyakit seperti yang aku alami. Aku kira, saat itu ia pasti mengeluarkan beberapa kata agresif. Dia akan menangis di satu sudut di kota di bawah sana jika hal itu benar-benar terjadi.

Ayah kemudian menjadi tenang dan aku terbaring dengan terisak-isak dan merasakan sakit di tulang belakangku. Hasil pemeriksaan mengatakan aku mengalami meningitis, dan perawat menarik semua tirai dan mematikan semua lampu. Semuanya serba gelap. Sementara aku mendapat perawatan, ayah menyaksikan di sisiku. Pukul lima pagi besok harinya aku membuka mata, dan saat itu keadaan gawat sudah lewat. Aku masih tidak tahu, apa penyebab sakitku? Mungkin, aku tidak merawat diri dengan baik.

Aku suka makan sembarangan. Secara fisik, aku kecil dan lemah pada saat itu. Karenanya, aku harus menjadi lebih kuat. Aku mulai melupakan kejadian itu dan bangkit, tapi, alih-alih tinggal di rumah, aku lebih ingin mencari sesuatu yang bisa ditendang di luar sana. Aku selalu berlari sepanjang waktu. Seperti ada sesuatu yang meletup-letup di dalam diriku, dan persis seperti ayahku, aku tak takut apapun. Itu adalah masa yang sulit. Aku baru menyadarinya sekarang. Hidup ayah seperti roller coster, dia sering tidak ada di rumah, dan kadang bisa marah berapi-api: “Kamu harus ada di rumah pada jam ini, atau jam itu,” “Kamu tidak boleh melakukan itu”.

Jika Anda adalah seseorang yang hidup dalam dunia Ayah dan menghadapi masalah, Anda harus menghadapinya dan dan berlagak layaknya seorang laki-laki. Anda tak boleh lembek, seperti “Saya sedang sakit perut. Saya sedih.” Jangan seperti itu!

Aku belajar untuk kuat dan bangkit, dan juga, jangan lupa, tentang pengorbanan. Saat kami membeli ranjang baru untukku di Ikea, ayah tak punya ongkos lagi untuk mengangkutnya ke rumah. Jadi apa yang kami lakukan? Simpel. Ayah mengangkut ranjang itu di punggungnya sepanjang jalan dari Ikea, benar-benar memalukan, bermil-mil, dan aku berjalan di belakangnya yang memanggul papan ranjang. Buat ayah, hal itu terlihat ringan saja, seperti tanpa mengangkat sesuatu. Aku bahkan tak bisa mengikuti jalannya:

“Tunggu ayah, berhenti.”

Tapi ayah terus berjalan. Se-macho itulah dia. Dan kadang, dia akan datang ke rapat orang tua di sekolah dengan gaya koboi-nya. Beberapa orang akan heran: siapa itu? Orang-orang akan tertarik perhatiannya kepada ayah. Ayah mendapat respek. Dan para guru mungkin tidak akan menyampaikan keluhan tentangku sebanyak yang mereka rencanakan semula. Barangkali, di benak mereka, kita harus berhati-hati dengan pria semacam itu!

Pernah ada yang bertanya, akan jadi apa ku jika tak menjadi seorang pemain bola? Entahlah. Tapi mungkin aku akan menjadi seorang kriminal. Ada banyak kejahatan (yang kulakukan) saat itu. Bukan hanya mencuri dan merampok, beberapa hal yang lebih buruk, dan bukan hanya sepeda. Di dalam dan di luar tempat perbelanjaan, dan aku kadang ketahuan saat melakukannya. Pencurian-pencurian itu memacuku, dan aku mungkin harus bahagia karena aku tak pernah ketahuan ayah. Dia sering mabuk-mabukan, memang, tapi ada sejumlah aturan yang jelas. Anda hanya boleh melakukan hal-hal yang benar. Dan tentu jangan pernah mencuri, jangan sekali pun. Atau ayah dapat marah besar.

Saat kami tertangkap di tempat perbelanjaan Wessels dengan jaket musim dingin dulu (penerjemah, Anda harus membaca bagian ini untuk paham konteksnya), aku masih beruntung. Kami telah mengambil sesuatu yang berharga seribu empat ratus krona. Ini bukan pencurian permen biasa. Namun ayah temanku datang menjemput kami, dan ketika surat pemberitahuan sampai ke rumah, Zlatan Ibrahimovic telah ditangkap karena mencuri, bla bla bla, aku merobeknya sebelum ayah menemukan surat itu. Aku beruntung, dan selepas itu terus mencuri. Jadi, akibatnya suatu hari boleh jadi akan lebih buruk.

Bersambung…