Tags

, , , , , ,

Pulau Ujong Seudeun, dilihat dari puncak Gurutee

Pulau Ujong Seudeun, dilihat dari puncak Gurutee, Aceh Jaya

Sudah pengetahuan jamak Aceh Jaya menyimpan keindahan alam tak terperi. Pantai yang permai merentang di sepanjang jalan. Pulau-pulau kecil berbaris. Segala kemolekan alam yang belum terjamah kegiatan pariwisata. Ke tanah inilah, kami berkunjung akhir November 2014 lalu.

Saya diajak serta Aceh Tourism mengeskplorasi kabupaten ini. Selama tiga hari, kami menjelajah kabutapen yang terbentuk sejak 12 tahun lalu itu: bercengkerama dengan pasir putih nan lembut di pantai tersembunnyi; mendaki lorong-lorong berkanopi dari daun-daun pohon besar di pulau tak berpenghuni. Dan satu hal yang pasti, kabupaten ini jauh lebih aduhai dari yang mampu terlihat saat menoleh dari kendaraan sewaktu melintasi jalur Barat-Selatan Provinsi Aceh itu.

Dimekarkan dari Aceh Barat, Aceh Jaya beridiri sendiri sejak 22 Juli 2002. Awalnya terdiri dari enam kecamatan: Jaya, Krueng Sabee, Panga, Sampoiniet, Setia Bakti , dan Teunom. Belakangan, muncul tiga kecamatan baru yang dimekarkan dari wilayah sebelumnya. Ketiganya adalah Indra Jaya, Darul Hikmah, dan Pasi Raya.

Menghadap ke Samudera Hindia membuat panorama alam tanah ini eksotis dan memikat. Garis pantai pasir putih sambung menyambung dari kaki Gurutee hingga ke Calang sana. Laut biru dan langit biru akan menemani perjalanan jika Anda saat melintasi kabupaten ini- tentu hanya jika cuaca cerah.

Namun lautan juga pernah mengirim bencana dahsyat untuk Aceh Jaya- dan Aceh secara umum. Gempa bumi dan gelombang ie beuna pada 26 Desember 2004 menelan lebih dari 20 ribu jiwa, seperempat populasi Aceh Jaya pada saat itu. Beberapa kampung di pesisir hilang ditelan lautan.

Jejak kelam tsunami hingga kini masih jelas terekam. Onggokan beton ringsek dari bangunan yang hancur masih dapat ditemui beberapa di Kota Calang. Selain juga kampung yang hilang dan pulau yang muncul selepas bencana dahsyat itu.

Namun kehidupan sudah mulai berdetak kembali di tempat ini. Calang, ibu kota Aceh Jaya, meski relatif sepi dibanding ibu kota kabupaten lainnya di Aceh, kembali bergelayut dalam aktivitas yang sibuk. Pasar ramai dengan transaksi jual beli. Mobil-mobil bersileweran pada jalan-jalan yang sempit.

Eksplorasi kami di Aceh jaya dimulai dari puncak Lageuen, pada Senin, 24 November dini hari. Jam menunjuk angka empat pagi lebih sedikit saat kami tiba. Di tepi sebuah bukit yang berjurang pada batu karang, kami merebahkan diri berapat-rapat dalam mobil yang dibiarkan menyala.

Perjalanan Banda Aceh-Lageuen sebenanrnya dapat ditempuh kurang dari tiga jam. Namun kondisi jalan yang basah membuat kelokan bertanjak di Gunong Paro, Gunong Kulu, dan Gunong Gurutee menjadi berbeda. Pun, belum lama beberapa titik di kawasan itu ditimpa longsor akibat hujan deras. Maka jadilah perjalanan kami perjalanan yang lamban dan penuh kehati-hatian. Berangkat tengah malam sebelumnya dari Banda Aceh, kami tiba dini hari di Lageuen.

Di bukit pemberhentian kami yang menghadap Pulau Cek Bah itu, pagi merambat dalam pelan. Ombak bernyanyi dalam sunyi. Udara menderas dalam kesejukan.

Saat matahari merekah, laut Lageuen itu mulai memberi kehidupan bagi satu dua boat nelayan yang berlayar. Dari puncak bukit Lageueun, kami menyaksikan panorama alam yang permai: Laut tenang dengan ombak yang pelan, pulau tak berpenghuni, hutan yang asri di balakang.

IMG_4682Dari matahari yang merekah di Lageuen, kami melepas senja –yang sayangnya kurang cerah- di Kuala Dhoe. Terletak di Kilometer 135 dari arah Banda Aceh, pantai ini menawarkan pasir putih terentang dan laut yang relatif tenang. Ombak tidak terlalu besar, cukup bersahabat untuk berenang.

Dua bungalow berdiri di sana. Satu ditempati Herman Hoepfner, bule berusia 69 tahun asal Jerman. Pada usia senjanya, Herman ingin menikmati kesendirian di tempat yang sunyi. “Kalau tempat ini dijadikan wisata umum, saya akan pergi dari sini,” kata Herman.

Konon Kuala Dhoe yang alami ini pernah terkenal hingga jauh ke tanah Bavaria. Semua berawal dari David, bule asal negara Hitler yang jatuh hati dengan kemolekan tempat ini. Ia mendirikan cottage di sini, lantas mempromosikan kemolekannya hingga jauh ke Eropa sana. David, menurut cerita warga setempat, kemudian masuk islam dan mengganti namanya menjadi Daud. Ia juga memperistri perempuan lokal.

Dari pantai yang masih alami, petualangan berlanjut keesokan harinya saat kami menjajal boat nelayan untuk menuju Pulau Reusam. Ia adalah pulau tak berpenghuni yang berada di Rigaih, tiga kilometer dari ke arah Banda Aceh dari Kota Calang.

Berangkat dari TPI (Tempat Pendaratan Ikan) Rigaih, hanya butuh kurang dari lima belas menit untuk mencapai pulau ini. Pasir putih dan sebuah dermaga dari kayu sudah menyambut begitu tiba di sana

Namun tak ada yang lebih menantang dibanding saat mengunjungi Pasi Saka, si pantai berpasir gula*. Letaknya tersembunyi di balik Desa Jeumpheuek, Sampoiniet, kilometer 117, di balik bukit Ujong Gla. Tapi trek menanjak yang melelahkan akan terbayar lunas begitu menoleh hamparan pasir putih yang diapit dua padang sabana. Permai sekali.

Aceh Jaya sebenarnya lebih dari sekadar pantai yang tersembunyi dan pulau tak berpenghuni. Masih banyak destinasi wisata lainnya yang dapat dieksplor saat berkunjung ke sini.

Selain berada di bibir Samudera Hindia, Aceh Jaya juga merentang di kaki Pegunungan Bukit Barisan. Lebih 70 persen wilayah hutan Ulu Masen berada di kawasan ini. Tak perlu heran jika kabupaten ini juga menyimpan potensi ekowisata lain yang juga belum tergarap.

Di Jeureungeh misalnya, kita bisa menjajal pengalaman menelusuri sungai dengan batu-batu yang tersusun bertingkat. Masih ada juga sungai di Lamno yang dapat dieksplor sembari memancing ikan keureuling, sejenis bandeng yang hidup di air tawar.

“Masih ada gua, menelusuri sungai dengan air terjun mini, hingga wisata sungai arung jeram,” kata Asrul, aktivis Geudumbak Foundation, sebuah LSM lokal yang konsen pada pendidikan, konservasi, dan pariwisata. “Kalau saya bilang, itu semua masih virgin,.”

Potensi ini sebenarnya juga dicium oleh pemerintah kabupaten. “Yang membedakan tempat kami dengan daerah wisata lainnya di Aceh, seperti Banda Aceh dan Sabang, adalah kealamiannya. Destinasi wisata Aceh Jaya masih benar-benar alami,” kata Teuku Samsuar, Kabid Pariwisata Dishubkomintelbudpar Aceh Jaya.

Namun kami tidak berntung karena gagal mengeksplor destinasi-destinasi yang disebut Asrol. Selain persiapan yang mepet, kami juga datang saat cuaca kurang bersahabat. Tidak ada hari yang kami lewati di Aceh Jaya kali ini tanpa hujan yang turun deras.

Karena itu, ke Aceh Jaya kami harus kembali. []

Catatan perjalanan Bertamasya ke Aceh Jaya (1)

* Akan dibahas pada postingan berikutnya dari catatan perjalanan ini.