Tags
caving, Guha Tujoh, Laweung, pedalaman, Pidie, Seulawah, tempat wisata
Derap langkah Nur Budaisyah terhenti di satu sudut di lorong gelap bawah tanah itu. Di tangannya tertenteng panyoet culoet (lampu teplok). Kami mengekor di belakang. Satu lampu darurat (emergency lamp) sebagai penerang tambahan ada di tangan saya.
“Bisa dimatikan sebentar lampunya, Nak?” Nenek itu meminta tanpa menoleh. Pandangannya tertuju kepada sebuah batu besar yang ada di hadapan kami. Saya tahu itu ditujukan ke saya. Tak ada satu pun di antara kami kecuali saya dan dia yang menggunakan penerang di lorong gelap bawah tanah ini.
Di segala arah, yang mampu terlihat adalah batu-batu karst besar. Kiri, kanan, atas, dan bawah. Semuanya. Kotoran kering kelelawar berserak di lantai.
“Boleh,” jawab saya, lantas menekan tombol off pada lampu emergency itu.
Jarak pandang kian menipis. Kini wajah tiga rekan yang tepat berada di samping saya pun terlihat samar-samar. Jarak pandang ke segala arah tak lebih dari satu meter. Padahal, dengan dua penerang yang masih menyala saja, ruangan ini masih terasa gelap.